Senin, 23 Maret 2020

PAGI INI..

Baru semalem aku merasa sepi yang begitu menyayat, mata susah untuk terpejam. Menggambarkannya seperti deket2 pemakaman kok ya takut kualat, berlebihan.
Tapi benar, ketakutan yang merasukiku sepertinya menahan mataku untuk terpejam.

Kulihat suamiku sudah terlelap, sangat.
Dengkurnya menumbuhkan welas, kasian, 2 malam dia kuusir tidur dikamar depan, karena kuraba sedikit panas dan batuk sesekali.
Yang jadi alasanku adalah, "Kasihanilah anak kecilmu, jangan sampai tertular walaupun hanya flu biasa."

Sepi ini, membantuku menghitung berapa banyak aku membuang waktuku sia sia.
Padahal, siapa saja sedang terintai kematian.
Sebelum mataku berhasil kuajak terpejam, aku berjanji, besok kami harus mulai bertekad mengisolasi diri.

Ku telpon si Mpok, "Dua pekan ini libur saja dulu, istirahat, tapi jangan keluar rumah, apalagi kerja ke orang lain. Akan ibu penuhi gajian Mpok, jadi Mpok hanya cukup istirahat saja dirumah."

Pagi ini, ada pesanan garam ke arah kencana loka, bismillah, roda ekonomi tetap harus berjalan.
Aku siapkan masker, uang kembalian dan kotak kosong untuk nantinya tempat uang kembalian. Begitu uang dari orang lain kuterima langsung kusemprot desinfektan yang siap sedia di mobil. 

Keluar rumah, suasana sepi.
Sampai ke gerbang, masih juga sepi.
Ada komitmen Mak-mak komplek, orang yang keluar masuk harus disemprot dulu, apalagi yang memasuki komplek.

Masih sepi.
Satpam juga masih berdiri santun, melambaikan tangan, tanpa ada aksi lain selain senyum dan melambaikan tangan.
Ada mobil yang berpapasan masukpun masih sama, cukup hanya senyum dengan tangan memberi salam.
Masih terlihat sama saat seminggu kemarin aku keluar dari komplek.
Yaa, sudah seminggu ini aku mengisolasi diri didalam rumah.

 Ada tanya keheranan ke suamiku, "Kok jalanan masih ramai saja?".

 Orang orang juga hanya satu dua yang mengenakan ,masker, beberapa muda mudi malah masih cekikikan di atas motor yang mereka naiki.

"Mereka terlalu cuek dan perlu dikasih pengertian", itu saja jawab suamiku.

Seketika terbersit keinginan ke pasar kaget sebelah, yang hanya ada 3 atau 4 gerobak sayurnya, lumayan aman daripada ke pasar modern yang harus bertemu dengan banyak orang

Suasana masih lumayan se[i.
Hanya beberapa ojol, tukang sapu, tukang parkir dan beberapa penjual gerobak menyiapkan dagangannya.

Masih dengan masker yang menutupi hidung dan mulutku, aku turun menuju lapak sayur yang sudah ada.

"Kenapa tidak kau pakai maskernya?", celetuk tukang ojek ke tukang sayur dihadapanku.

 "Lupa, susah napas, ha ha ha," jawab si tukang sayur sembari terkekeh.

Aku toleh kanan kiri, ternyata ada sekitaran 10 orang disitu, cuma aku yang pakai masker.
Berarti mereka sedang mentertawakan aku.

Ya weslah, mau gimana lagi.

Namun ini membukakan sedikit kungkungan ketakutanku, bahwa diluar sana banyak yang masih membutuhkan oksigen segar untuk hidup mereka terus berjalan.
Entah yang mereka hirup bersih atau tidak, tak mereka pedulikan.
Anak istrinya dirumah lebih membutujkan sesuap nasi daripada harus setiap hari hanya disuguhi berita-berita orang berduit yang satu persatu berguguran.

 Entahlah, sekilas itu yang kupahami didepan mataku.

 Ada penyesalan, kenapa si Mpok kusuruh istirahat, akankah kaki tangannya pegal- pegal karena harus libur menyapu, mengepel, memasak dan naik turun tangga sampai setengah harinya?. Terbayang kegiatan itu nantinya beralih kepundakku, mulai hari ini dan masih 2 pekan lagi kujanjikan semua akan normal kembali.
Ufttt...

Tiba-tiba aku memahami, kenapa si mpok tertawa saat aku tawari opsi untuk meliburkan dirinya dengan alasan dia paling resiko karena harus pulang pergi naik KRL.

Sudah terjadi.
Tak mungkin kucabut kembali masa liburnya, setidaknya untuk dua pekan yang kujanjikan. Bismillah. Untuk keadaan lebih baik lagi, in sya Allah.

Tidak ada komentar: