Minggu, 19 Mei 2024

HIPOKALEMIA BISA NAIK HAJI

Ini sekelumit kisahku menjalani hajian 2023, kemarin. 

Ceritaku adalah tentang bagaimana seorang mantan penderita hipokalemia menjalani prosesi ini. Hanya sebagai mantan, bisa kebayang, jika yang mengalami adalah masih berstatus penderita.


Saat ini, beberapa kloter haji 2025  sudah diberangkatkan menuju  Madinah dan Mekkah. Setahun yang lalu, saat ini adalah  hari terpanikku.

Aku flashback beberapa cerita lucu dan anehku. Hiks, membongkar aib sendiri. Tak mengapa, biar kalian tahu, aku pernah mengalami hal ini.

Sebenernya, shock sudah terjadi saat panggilan pertama, di tahun 2020 silam. Saat namaku maju dari yang awalnya pemberangkatan 2021, menjadi keberangkatan di 2020.

Aku sempat selama 3 bulanan konsultasi ke salah satu dokter spesialis jiwa, yang kebetulan adalah penderita hipokalemia juga, ha ha ha...

Salah curhat kali ya, jadinya kesimpulan yang aku dapat, aku harus konsumsi penenang sebelum atau selama di sana. Kalian tahu kenapa? membayangkan naik pesawat dan berada didalamnya, aku sudah lemas. Kebayang kan, kalau tiba-tiba aku minta turun pesawat dan batal hajian hanya karena aku nggak berani naik pesawat. Dan teman hipo yang dokter itu, sepemikiran.

Kengerian berikutnya adalah saat membayangkan thowaf di plataran masjid yang berisi jutaan orang, apalagi nanti di terowongan Mina. 

Aku memenangkan diri dengan berbagai cara, sampai kemudian ternyata, kesibukan mengurus dokumen ditengah pandemi melupakan masalah aneh  sederhanaku tadi. Aku harus mengurus dokumen mutasi dari Jawa Timur ke Banten di tengan badai pandemi. 

Takutku hilang, kalah dengan keinginan kuatku untuk sampai ke sana. Aku memilih pasrah, toh seandainya aku mati bukan lagi karena dikejar si hipokalemi, namun aku mati di tengah persiapan  ibadah. 

Alhamdulillah, dokumen selesai dengan pertolongan Allah menjadi sangat mudah. Semua bisa diselesaikan secara online, via WA dan email.

Namun, Qodarullah, perjalanan dibatalkan, karena sebab pandemi.

Berikut panggilan haji yang tahun 2022, aku belum dapat rejeki berangkat kala itu karena bukan masuk jama'ah urutan 50% lolos kuota yang berangkat.

Rejeki buat aku, karena di tahun itu jama'ah harus benar benar fit tenaganya, keharusan berjarak dalam setiap kegiatan  membutuhkan tenaga ekstra dibanding jika berjubel dengan banyak manusia.Kita masih bisa istirahat mengatur nafas dan tidak dikejar waktu.

Sampai akhirnya di tahun 2023, kepastian itu mulai ada. Kok mulai ada? yup, karena sistem yang masih semrawut kala itu, peralihan peraturan juga peralihan sitem ofline menjadi online membuat berkas yang di tahun kemarin final harus di update kembali sesuai peraturan yang baru, artinya, mulai dari nol lagi pengurusan semua berkas, baik itu mutasi maupun dokumen lainnya. 

Kendala bukan di pandeminya, namun saat itu justru masalah ada di financialku. Usai pandemi, semua  tabungan habis, belum lagi harus meninggalkan anakku yang masih SD. Diperantauan pula, jadi mikirin mereka sendiri di rumah lumayan menambah beban pikiran.

Justru mungkin beginilah cara Allah menghilangkan kepanikanku. Keyakinan bahwa aku adalah tamu Allah yang gak bakalan Allah sia - siakan, gak bakalan Allah persulit, membuat langkah kami masya Allah, mulus sampai akhirnya semua berkas selesai dan uang saku tiba- tiba saja tersedia di rekeningku. Entah, susah dijabarkan dengan logika, semua ada, semua selesai tepat pada waktunya.

Disela perjuanganku mendapatkan bekal, aku juga menyiapkan mentalku seandainya aku nanti beneran ada di sana. Untuk nyiapin naik pesawat, aku membekali diri dengan sekotak antimo,  Aku sudah berpesan ke suamiku, kalau ada tanda kepanikan, aku harus ditidurkan, ha ha ..lumayanlah, bukan lagi penenang andalanku.

Masya Allah, aku sudah ditenangkan Allah sedari awal. Gimana nggak tenang dan kudu terlihat sehat? lha ternyata yang berangkat itu banyakan para lansia, yang bawa badan sendiri aja susah, belum lagi yang wajah - wajah polos sebagian besar mereka. Duh, kurang apa aku sih? Aku masih jauh lebih sehat, lebih terlihat baik - baik saja dibanding mereka. Pantas saja, petugas kesehatan yang rajin kucurhati terlihat jengkel melihat ulahku.

Mulai dari berangkat, alhamdulillah aku terlupakan dengan semua ketakutanku. Di pesawat bahkan aku sibuk merekam pergerakan awan yang berarak cantik mengikuti kami. Antimo sekotak aman utuh sampai pulang kembali ke tanah air.

Ketika membayangkan prosesi thowaf di plataran masjidil harom, aku mengambil janji ke suamiku bahwa nanti harus thowaf  minimal di lantai dua atau lebih baik lagi di lantai atas, rooftop karena akan banyak oksigen pastinya daripada berjubel dengan jutaan orang di area lantai bawah. Alhamdulillah, baru keliling dua putaran, aku sudah menyerah kalah, merajuk turun ke plataran saja karena jaraknya jauh lebih pendek daripada di lantai atas.

Di sana pun Allah menenteramkanku, aku malah dikelilingi anak kecil, ada bayi mungil juga yang sedang digendong ibunya ikut thowaf, bahkan aku didijinkan menciuminya sambil terus melafalkan talbiyah. Semua terlihat bahagia, semangat dan haru melaksanakan thawaf. Apa lagi yang ditakutkan? justru di plataran, aliran udara lembut dan harum sering menyapu keringat kami, masya Allah.

Prosesi yang tak kalah membuatku lemas ketika membayangkan adalah ketika berada di terowongan Mina. Hmmm, bahkan aku sempat berfikir, habislah aku disini... tapi yang ada difikiranku adalah, aku rela mati dalam ibadah haji ini. Namun, mengingat anakku yang masih membutuhkanku, maka aku setiap hari melihat kolam ikan. Biasanya pas panas terik, aku mencari semut yang terjebak di kolam karena angin memang lumayan sedang banyak saat itu.

Aku menolong mereka satu persatu, sambil berdo'a, "Ya Allah, tolonglah aku juga jika nanti aku terjebak dalam lautan manusia."

Wk wk..

Nggak cuma sehari lhoh, berhari hari aku lakukan ini, sambil nangis, memohon ke Allah nanti dihindarkan dari mara bahaya selama di sana.


Selasa, 23 Januari 2024

WARAS

Hari ini nggak banyak yang kukerjain. Padahal dalam 6 hari kedepan bakalan ada bazar yang rame, semoga yaaa, kabarnya sih begitu.Event tahunan kota Tangerang selatan sebagai penghasil duren. Usahaku mendapat tempat bazar gratis sebagai perwakilan kecamatan Serpong.

Padahal aku belum nyiapin stiker mangkok, banner, kartu nama, apalagi produk.Yup, beberapa varian sedang kosong. Kemarin  rada males nyetok karena memang modalnya muterrr mulu, gak berhenti di post produksi, wk wk

Begitulah. Lumayan masih menantang adrenalin beberapa kegiatanku dalam usaha. Dikejar target memenuhi kriteria usaha bertumbuh, bukannya mandeg, stabil gak ada kemajuan...

Hi hi, masih mendinganlah stabil, semoga nggak malah merosot turun menuju nyerah. Nggaklah, apa yang sudah kubangun dengan sepenuh tenaga ini nggak boleh mundur, harus maju walaupun harus tertatih.

Yup... udah waras kok ya, mesti berfikirnya juga bener. 

Kamu bisa... 

Insya Allah

Rabu, 26 Juli 2023

UNDANGAN KE TIGA

Kayak mimpi aja, menjalani proses dari mulai persiapan, shocknya, rangkaian ibadahnya sampai akhirnya bisa menyandang gelar Bu Hajjah, Masya Allah. 
Nggak kebayang, tiba - tiba udah selesai, dikasih sehat, kenyamanan dan kenikmatan selama di sana.

Dua kali tertunda. 2020 karena pandemi dan 2021 karena pembatasan kuota  Kami sudah melunasi BPIH, melengkapi dokumen mutasi juga suntik meningitis. Semua sudah siyap, tinggal angkat koper, namun Allah berkehendak lain. 
Bukan tanpa maksud Allah memilihkan ini untukku. Aku yakin, Dia memilihkan waktu yang tepat.
Aku harus menjalani rangkaian persiapan, bukan materi, tapi lebih ke mental, ninggalin keluarga, apalagi anakku masih berusia 9 tahun. Banyak banget yang kupikirkan, apalagi di tengah situasi pandemi kemarin.

Tahun 2023 ini, alhamdulillah semua seperti sudah diatur Allah. semua persiapan dimudahkan, anak - anak juga dalam penjagaanNya.
Aku,yang jujur, masih trauma dengan segala ketakutan, sampai H-1 pun hanya bisa pasrah, memohon aku disembuhkan dengan sebenar-benarnya, memohon dikuatkan menjalani ibadah, disenangkan dan dipulangkan dengan keadaan sehat kembali.
Masya Allah, semua dikabulkan.

Perjalananku lancar seperti tak pernah ada kejadian dan trauma apapun. Naik pesawat dengan tenang, bahkan aku sibuk mengambil gambar, mengagumi indahnya awan dan ketinggian. Naik turun lift sampai lantai 14, biasa saja kujalani tiap hari. 
Ke masjid, kami  jalan kaki belasan kilo meter hampir tiap hari dan berjubel dengan jutaan orang saat menjalani puncak haji.

Aku, yang kemarin sibuk menakar tenaga, berhitung kesiapan oksigen dan memenuhi tas dengan banyak obat-obatan, ternyata sampai sana semua berjalan baik - baik saja. 
kelelahan dan sempat sakit, namun itu dialami oleh hampir 75 persen jama'ah usai menjalani prosesi haji.

Alhamdulillah.. semua berjalan lancar.
Yakin saja, Allah akan menyediakan jamuan terbaik untuk tamu - tamuNya


Senin, 23 Maret 2020

PAGI INI..

Baru semalem aku merasa sepi yang begitu menyayat, mata susah untuk terpejam. Menggambarkannya seperti deket2 pemakaman kok ya takut kualat, berlebihan.
Tapi benar, ketakutan yang merasukiku sepertinya menahan mataku untuk terpejam.

Kulihat suamiku sudah terlelap, sangat.
Dengkurnya menumbuhkan welas, kasian, 2 malam dia kuusir tidur dikamar depan, karena kuraba sedikit panas dan batuk sesekali.
Yang jadi alasanku adalah, "Kasihanilah anak kecilmu, jangan sampai tertular walaupun hanya flu biasa."

Sepi ini, membantuku menghitung berapa banyak aku membuang waktuku sia sia.
Padahal, siapa saja sedang terintai kematian.
Sebelum mataku berhasil kuajak terpejam, aku berjanji, besok kami harus mulai bertekad mengisolasi diri.

Ku telpon si Mpok, "Dua pekan ini libur saja dulu, istirahat, tapi jangan keluar rumah, apalagi kerja ke orang lain. Akan ibu penuhi gajian Mpok, jadi Mpok hanya cukup istirahat saja dirumah."

Pagi ini, ada pesanan garam ke arah kencana loka, bismillah, roda ekonomi tetap harus berjalan.
Aku siapkan masker, uang kembalian dan kotak kosong untuk nantinya tempat uang kembalian. Begitu uang dari orang lain kuterima langsung kusemprot desinfektan yang siap sedia di mobil. 

Keluar rumah, suasana sepi.
Sampai ke gerbang, masih juga sepi.
Ada komitmen Mak-mak komplek, orang yang keluar masuk harus disemprot dulu, apalagi yang memasuki komplek.

Masih sepi.
Satpam juga masih berdiri santun, melambaikan tangan, tanpa ada aksi lain selain senyum dan melambaikan tangan.
Ada mobil yang berpapasan masukpun masih sama, cukup hanya senyum dengan tangan memberi salam.
Masih terlihat sama saat seminggu kemarin aku keluar dari komplek.
Yaa, sudah seminggu ini aku mengisolasi diri didalam rumah.

 Ada tanya keheranan ke suamiku, "Kok jalanan masih ramai saja?".

 Orang orang juga hanya satu dua yang mengenakan ,masker, beberapa muda mudi malah masih cekikikan di atas motor yang mereka naiki.

"Mereka terlalu cuek dan perlu dikasih pengertian", itu saja jawab suamiku.

Seketika terbersit keinginan ke pasar kaget sebelah, yang hanya ada 3 atau 4 gerobak sayurnya, lumayan aman daripada ke pasar modern yang harus bertemu dengan banyak orang

Suasana masih lumayan se[i.
Hanya beberapa ojol, tukang sapu, tukang parkir dan beberapa penjual gerobak menyiapkan dagangannya.

Masih dengan masker yang menutupi hidung dan mulutku, aku turun menuju lapak sayur yang sudah ada.

"Kenapa tidak kau pakai maskernya?", celetuk tukang ojek ke tukang sayur dihadapanku.

 "Lupa, susah napas, ha ha ha," jawab si tukang sayur sembari terkekeh.

Aku toleh kanan kiri, ternyata ada sekitaran 10 orang disitu, cuma aku yang pakai masker.
Berarti mereka sedang mentertawakan aku.

Ya weslah, mau gimana lagi.

Namun ini membukakan sedikit kungkungan ketakutanku, bahwa diluar sana banyak yang masih membutuhkan oksigen segar untuk hidup mereka terus berjalan.
Entah yang mereka hirup bersih atau tidak, tak mereka pedulikan.
Anak istrinya dirumah lebih membutujkan sesuap nasi daripada harus setiap hari hanya disuguhi berita-berita orang berduit yang satu persatu berguguran.

 Entahlah, sekilas itu yang kupahami didepan mataku.

 Ada penyesalan, kenapa si Mpok kusuruh istirahat, akankah kaki tangannya pegal- pegal karena harus libur menyapu, mengepel, memasak dan naik turun tangga sampai setengah harinya?. Terbayang kegiatan itu nantinya beralih kepundakku, mulai hari ini dan masih 2 pekan lagi kujanjikan semua akan normal kembali.
Ufttt...

Tiba-tiba aku memahami, kenapa si mpok tertawa saat aku tawari opsi untuk meliburkan dirinya dengan alasan dia paling resiko karena harus pulang pergi naik KRL.

Sudah terjadi.
Tak mungkin kucabut kembali masa liburnya, setidaknya untuk dua pekan yang kujanjikan. Bismillah. Untuk keadaan lebih baik lagi, in sya Allah.