Selasa, 20 September 2011

Sekolah Tanpa Matematika

Sudah kusiapkan hati, malam ini pasti ada tragedi, secarik kertas jadwal pelajaran itu selalu menyisakan sesuatu buat kami berdua, ªku dan anakku.
Ada saja ulahnya untuk mengalihkan perhatianku dari satu mata pelajaran itu, mulai dari bercerita panjang, minta dibuatkan camilan sampai pura-pura sudah mengantuk duluan. Tujuannya hanya satu, sesingkat mungkin menyisakan waktunya belajar matematika.

'Mama!, kali ini mama harus bangga, kemarin nilaiku matematika naik lho..' katanya bernada sombong.

'Bagus dong..! Hobby mama menurun ke anaknya' jawabku senang, sedikit waspada dengan kelanjutannya cerita. Terus terang ªku dulu pencinta mata pelajaran ini. Saat paling membahagiakanku adalah ketika dia dengan senang hati memintaku membantu belajar matematika. Serasa bernostalgia dengan angka dan puzle rumus-rumusnya.

'Kalau kemarin ªku dapat nilai 30, kali ini nilaiku naik menjadi 40, Ma..!' katanya bersemangat, membuatku terpancing geram.

'Duuh.. Anak Mama pinter banget, besok harus naik 10 angka lagi, besoknya 20 angka..!' jawabanku meninggi, 'Nilai matematika kalau bisa tuh diatas 70, Sayang..."

'Ma, besok SMP, carikan ªku sekolah ŷanğ tidak ada matematikanya ya..' katanya memelas, membuatku terharu, sebegitu susahnya kah matematika buatnya?.

'Suka puzzle kan?, padahal matematika itu kayak main puzzle lho buat Mama.., seru..!' kataku menghiburnya.

Usianya masih 9 tahun saat itu, ªku berfikir masih panjang kesempatannya untuk mengenali mata pelajaran satu ini, suatu saat nanti, hobbynya menata puzzle pasti akan bermanfaat untuknya.